Intelijen
memiliki watak sebagai a professional with one client –profesi yang
mengabdi hanya kepada seorang klien. Istilah tersebut mencerminkan bukan
sekedar keunikan intelijen, tetapi juga keterkaitan berbagai perannya dengan fungsi-fungsi
dari sekuriti nasional. Paling tidak ada enam fungsi-fungsi yang
mengalir dari aspek sekuriti nasional. Fungsi-fungsi dari sekuriti nasional itu
adalah :
Membina
kepastian hukum (legal surety);
Membina
ketentraman dan ketertiban masyarakat (civil order);Menegakkan hukum secara paksa (law enforcement);
Membangun kemampuan pertahanan (defence capability);
Melindungi masyarakat dari berbagai bencana, baik karena alam, kelainan, maupun kesengajaan (public safety from disasters); dan yang terakhir,
Memelihara keamanan negara (state security);
yang
masing-masing memiliki ciri-ciri masalah dan ancamannya sendiri-sendiri.3)
Karakterisasi
ancaman menuntut adanya spesialisasi penanganan masing-masing.
Spesialisasi intelijen terhadap fungsi-fungsi dari sekuriti nasional tersebut
dimanifeskan ke dalam crime and law enforcement intelligence, yang
dilaksanakan oleh badan intelijen kepolisian (seperti FBI, Spesial Branch,
Intelpol, dsb). Fungsi berikutnya, yakni defence intelligence,
dilaksanakan oleh badan badan intelijen pertahanan, mulai yang terbatas pada
lingkup intelijen daerah pertempuran (combat intelligence) sampai kepada
intelijen yang berlingkup strategis. Kemudian oleh berbagai intelijen yang
ditujukan untuk melindungi masyarakat (intelligence for public protection)
dari berbagai wujud bahaya yang tanggung-jawabnya dilaksanakan oleh departemen
terkait (mulai dari lembaga pengawasan kegiatan vulkanologi, pengendalian
banjir, penanggulangan kenakalan remaja, narkotika dan uang palsu, sampai
kepada pengawasan lalu-lintas orang asing, dsb) serta untuk perlindungan
kepentingan nasional yang lebih luas, yang mencangkup bidang politik, ekonomi,
keuangan, sosial-budaya, serta keamanan sosial, yang dilaksanakan oleh
badan-badan intelijen nasional (NIA, MI-6/5, BIN, dsb)
Pertanyaan :
Berapa luas
dan lingkup wewenang dan tanggung jawab dari BIN?Apa saja fungsi dari BIN?
Meski ada
spesialisasi pada berbagai badan intelijen untuk beragam kepentingan tersebut,
sebagai realisasi fungsi-fungsi sekuriti nasional pada berbagai tingkat dan
wujudnya, kepentingan-kepentingan ini tetap memiliki keterkaitan satu dengan
yang lain.
Oleh karena
itu, peran dan fungsi koordinasi antar badan-badan intelijen yang ada
itu tidak saja tidak boleh dinafikan, bahkan secara fungsional merupakan
kebutuhan yang wajib dilakukan. Hambatan dan kelemahan utama dari badan-badan
intelijen justru terletak pada fungsi koordinasi ada take and give
dan prinsip intelijen tentang pemberian informasi hanya kepada mereka yang
memang mutlak harus tahu (need to know basis), turut mengendala proses koordinasi.
Masalah lain adalah menetapkan “siapa yang memang perlu tahu”. Kendala lain
terhadap koordinasi, yang turut menentukan, lebih bersifat kultural,
yaitu faktor subyektif dari badan-badan intelijen –persisnya tokoh-tokoh– yang
terlibat. Faktor gengsi misalnya.
Koordinasi
adalah kegiatan tukar-menukar keterangan mengenai masalah-masalah yang “tidak
jelas” atau “tidak diketahui” atau “perlu diketahui bersama”. Sementara kaum
intelijen adalah sosok yang acapkali harus menampilkan kesan yang serba tahu.
Oleh karena itu untuk menghindari embarrassment akan hal semacam itu,
banyak bos-bos intelijen yang sebenarnya memerlukan exchange of notes,
konsultasi, atau koordinasi dalam rangka memerlukan informasi yang ada di
tangan mereka, acap kali merasa enggan dan kalaupun terpaksa, cukup mengirim
wakil dari eselon rendahan saja, yang biasanya tidak memiliki mandat untuk
memutuskan sesuatu.
BIN yang di
dalam fungsinya menyandang fungsi mengkoordinasikan kegiatan intelijen
pada lingkup nasional dikabarkan mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsi koordinasinya
di antara badan-badan intelijen yang ada.
Pertanyaan :
Apa kendala
yang menyebabkan kesulitan dalam menjalankan fungsi koordinasi oleh BIN
terhadap badan-badan intelijen lain?
Lalu, rivalitas
(persaingan) yang inheren atau melekat di dalam tubuh berbagai badan-badan
intelijen menjadi faktor lain lagi yang mengendala usaha koordinasi dan
sinkronisasi dalam rangka mengefisienkan kegiatan badan intelijen yang ada.
Berbeda dengan kompetisi (yang juga berarti persaingan dalam
bahasa indonesia), di mana di dalamnya perjuangan merebut prestasi dilaksanakan
tanpa merugikan pihak-pihak yang bersaing, rivalitas adalah persaingan yang
kadangkala tanpa perlu memperebutkan prestasi, justru bertujuan untuk
menimbulkan kerugian pada pihak pesaing lainnya. Rivalitas adalah permainan zero-sum-game.
Keadaan yang merugikan ini bias bertambah parah bila penguasa politik
menggunakan rivalitas itu untuk power balancing penguasa. Ciri dari
sistem demikian, berbagai kelompok kepentingan bertarung untuk memperebutkan
kedekatan atau untuk memperoleh favorit dari penguasa.
Untuk
beberapa waktu lamanya badan-badan intelijen di Indonesia, tanpa perkecualian,
tidak lain hanyalah instrumen untuk mencapai kepentingan politik. Badan
inteljen yang bekerja secara professional untuk single client organization
yang pernah ada adalah BRANI (Badan Rahasia Nasional Indonesia), dari tahun
1945 sampai 1950.
Lembaga
intelijen Indonesia yang pertama, Badan Istimewa BKR, disusun setelah
selesainya penyelenggaraan Pendidikan Penyelidik Militer Khusus dibawah Letnan
Kolonel Zoelkifli Loebis, yang menjadi kepala Tjabang Chusus (staf intelijen)
BKR (Badan Keselamatan Rakyat). Badan Istimewa BKR diresmikan pada tanggal 6
Oktober, 1945 di Cileungsi, Bogor, sehari setelah pemerintah meresmikan BKR
sebagai badan keamanan dari Republik yang baru lahir. Ketika ditanyakan tentang
hal itu Zoelkifli Loebis menyatakan tidak ingat lagi kapan Badan Istimewa BKR
itu diresmikan. “Saya tidak ingat tanggal pembentukannya. Yang jelas sesudah 17
Agustus 1945 dan sebelum 5 Oktober 1945,” ucap bapak intelijen Indonesia ini.
4)
Letnal
Kolonel Zoelkifli Loebis merekrut 40 orang opsir PETA mantan lulusan Seinen
Dojo (Pusat Pelatihan Pemuda), yang kemudian diikutkan dalam pelatihan
intelijen oleh Zanchi Yugeki-tai (Satuan Intelijen Bala Tentara Ke-16)
sebagai kader intelijen. Latihan para kader intelijen itu hanya berlangsung
tidak lebih dari seminggu lamanya, ditekankan terutama pada intelijen lapangan
dan teritorial, seperti pengumpulan informasi militer, sabotase dan perang urat
saraf. Tenaga pelatihnya terdiri dari para perwira dari badan intelijen Jepang Sambobu
Tokubetsu-han (Beppan), seperti Letnan Yanagawa, Letnan Tsuchiya, Letnan
Yonemura dan seorang muslim Jepang Abdul Hamid Nobuharu Ono, yang dikenal dekat
dengan perwira-perwira BKR, Selain Zoelkifli Loebies sendiri yang pernah
bertugas sebagai perwira intelijen di Singapura.5) Ketika pusat pemerintahan
publik dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta, Badan Istimewa BKR diubah
namanya menjadi BRANI (Badan Rahasia Nasional Indonesia) yang secara
administratif menginduk ke Kementerian Pertahanan dan secara operasional
memiliki akses langsung kepada Panglima Besar Soedirman dan Presiden Soekarno.
Pemimpinnya tetap Zoelkifli Loebis. BRANI melanjutkan melakukan pelatihan
terhadap beratus pemuda dalam rangka membentuk FP (Field Preparation).
Tugas FPI
itu macam-macam, seperti sabotase, propaganda dan perang urat saraf,
penggalangan perlawanan terhadap Belanda, menyusup ke daerah lawan, hingga
penyelundupan senjata. “Pokoknya, kami ini intelijen tempur sekaligus
teritorial” ujar Letnan Jendral Soetopo Joewono, mantan kepala BAKIN yang
menjadi anggota BRANI.6) Untuk mendukung kepentingan politik, misi BRANI
kemudian tidak terbatas pada intelijen militer saja, tetapi diperluas kepada
intelijen politik dan strategis.
Pada masa
Amir Sjarifoeddin menjadi perdana menteri pada April 1947 lembaga intelijen ini
dirombak menjadi KP V (Kementerian Pertahanan V). Satuan-satuan intelijen yang
berada di luar struktur militer, yakni yang berada di bawah kepolisian dan
kejaksaan pada masa sebelum perang, dimasukkan kedalam jajaran kementerian
pertahanan pada staf yang berbeda. Seksi-A (bekas BRANI) diserahkan di bawah
kepemimpinan Kolonel Abdoerahman, orang kepercayaan Amir Sjarifoeddin, sedangkan
Zoelkifli Loebis menjadi wakilnya. Amir Sjarifoeddin dan Abdoerahman kemudian
hari terlibat dalam Peristi Pengkhianatan PKI di Madiun pada 1948.
Setelah
perang kemerdekaan usai, ketika Pemerintah Republik kembali ke Yogya, KP V
dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk intelijen Kementerian Pertahanan (IKP).
Di bawah menteri pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dalam posisi sebagai
kepala IKP, Zoelkifli Loebis membentuk BISAP (Biro Informasi Angkatan Perang),
yang bertugas menyiapkan informasi strategis kepada menteri pertahanan dan
pimpinan militer.
Setelah
terjadi peristiwa 17 Oktober 1952 IKP “digembosi”. Peran intelijen pada lingkup
nasional dilakukan oleh SUAD-I. Pada tahun 1959 Presiden Soekarno membentuk
sebuah badan intelijen baru di tingkat nasional, Badan Pusat Intelijen (BPI),
yang dipimpin langsung oleh menteri luar negri Soebandrio. Dibawah kepemimpinan
Soebandrio, BPI dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh kaum komunis dan
simpatisannya. BPI menyusup ke dalam Departemen Hankam, Komando-Komando
Militer, dan badan-badan pemerintahan lainnya untuk tugas mengamati lawan-lawan
politik Presiden Soekarno. Untuk pertama kali sebuah badan intelijen seperti
BPI secara sengaja diarahkan dan digunakan sebagai sebuah instrumen politik
dengan tugas khusus untuk mengawasi dan menghabisi lawan-lawan pemerintah
seperti yang lazim berlaku di negara-negara yang bercorak otoriter.
Dengan
tumbangnya kekuasaan Presiden Soekarno, dan bangkitnya Rezim Orde Baru pada
tahun 1965, BPI dibubarkan.sebuah badan intelijen baru dibentuk, yaitu Komando
Intelijen Nasional (KIN) pada tahun 1966, tetapi sebelum berusia setahun
KIN dibubarkan dan digantikan oleh BAKIN (Badan Koordinasi Intelejen Negara)
di bawah pimpinan Kolonel, kemudian Letnan Jenderal Yoga Sugama. Presiden
Soeharto tidak sepenuhnya percaya dan menyandarkan dirinya pada BAKIN. Ia
membentuk sebuah jaringan Intelijen lain sebagai saingan BAKIN di bawah kendali
mayor Jendral Ali Murtopo dengan Operasi Khusus (Opsus)-nya, di luar
pengetahuan Bakin maupun staf intelijen Departemen Pertahanan Keamanan/Markas
Besar ABRI, serta komando pemulihan keamanan dan ketertiban (Kopkamtib)
yang ada pada waktu itu. Dalam melaksanakan tugas intelijennya Ali Murtopo
bertanggung jawab langsung kepada Presiden Soeharto. Selain itu di luar Opsus,
Presiden Soeharto masih membentuk dan mengendalikan jaringan intelijennya
sendiri.
Ali Moertopo
merupakan tokoh kepercayaan Presiden Soeharto sejak tahun 1948. Ia adalah tokoh
yang dikirimkan oleh Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad, pada tahun
1965, tanpa sepengetahuan Presiden Soekarno, untuk menemui Des Alwi di Bangkok
dalam rangka menjajagi kemungkinan mengakhiri ‘Konfrontasi’ dengan Malaysia.
Sejak saat itu Ali Moertopo dengan Opsus-nya ditugasi untuk menangani
bidang-bidang khusus politik, diplomasi, dan bisnis, di bawah kendali langsung
Presiden Soeharto. Permainan yang dijalankan Ali Moertopo tidak senantiasa
sejalan dengan kepentingan tentara, yang dipresentasikan oleh Panglima
Kopkamtib Jenderal Soemitro, yang didukung oleh BAKIN. Persaingan antara Opsus
dengan Kopkamtib berakhir dengan show down pada 15 Januari 1978, yang
kemudian dikenal dengan Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) yang
berakhir dengan lengsernya kedua tokoh, baik Ali Moertopo maupun Jenderal Soemitro,
dari arena politik.
Sesudah
Peristiwa Malari Presiden Soeharto memanggil Brigadir Jenderal Benny Moerdani
dari posnya di Seoul untuk menggantikan Ali Moertopo. Ia diangkat sebagai
asisten intelijen Dephankam /ABRI, dan mengambil alih kepemimpinan CSIS dari
tangan Ali Moertopo. Pada waktu itu Pusintelstrat (Pusat Intelijen
Strategis) yang berada di bawah kendali asisten intelijen Dephankam/ABRI, dan
mengambil alih kepemimpinan CSIS dari tangan Ali Moertopo. Pada waktu itu Pusintelstrat
(Pusat Intelijen Strategis) yang berada dibawah kendali asisten intelijen
Dephankam/ABRI, berfungsi hanya sebagai “lembaga pusat” dengan tugas pokok
terbatas pada merumuskan doktrin dan menyelenggarakan latihan semata. Jenderal
Benny Moerdani tidak puas dengan hal itu, dan mereorganisasikan “tenaga pusat”
itu menjadi sebuah ‘badan’ -agency- yakni BAIS (Badan Intelijen
Strategis) ABRI dengan tugas-tugas yang sangat luas. Di bawah kepemimpinan
Jendral Benny Moerdani BAIS tidak saja merambah sampai kepada perumusan politik
luar negeri (yang membuatnya tidak disenangi oleh kalangan Pejambon), tetapi
terutama ia berhasil menyakinkan Presiden Soeharto untuk memberikannya
kewenangan melaksanakan sesuatu “operasi tertutup” melakukan invasi ke Timor
Portugis pada tahun 1975. Kegiatan operasi itu sedemikian tertutupnya
sampai-sampai Menhankam/Pangab Jenderal Surono tidak mengetahuinya sampai
detik-detik terakhir Hari–H serbuan, yang dengan sekaligus menandai berakhirnya
peran Opsus yang masih melakukan kegiatan intelijen di timor portugis
dengan nama sandi “Operasi Komodo”.
Untuk
“mensinergikan operasi-operasi intelijen” sesudah peristiwa Malari, Presiden
Soeharto kemudian menempatkan Jenderal Benny Moerdani sebagai Waka BAKIN, di
bawah Jenderal Yoga Sugama. Berdalihkan bahwa BAKIN hanyalah sebuah “badan
koordinasi”, maka struktur organisasinya “dilangsingkan” dengan menjadikannya
sebuah organisasi yang tidak menjadi badan intelijen yang berfungsi melakukan
operasional intelijen secara penuh. Tugas pokoknya lebih ditekankan pada koordinasi.
Barangkali karena alasan tersebut, ketika saya mengambil alih pimpinan BAKIN
pada bulan April 1999, sarana operasional seperti untuk intelijen
komunikasi-elektronika, dan organ untuk operasi lapangan tidak ada. Fungsi
komunikasi-elektronika diturunkan menjadi hanya sebuah seksi yang berada pada
detasemen markas, yang bertugas untuk pelayanan internal. Karena tiadanya organ
operasional lapangan, “laporan intelijen” yang saya terima dari staf, yang
diharapkan berisi “analisis” dari intelijen matang, tidak lebih berupa
guntingan dari berbagai koran nasional. Sementara itu badan intelijen militer,
BAIS, mengendalikan operasi dan kegiatannya mulai dari intelijen lapangan,
teritorial dan intelijen strategis, dengan fokus terutama pada intelijen
politik dalam negeri. Dalam melaksanakan tugasnya, kadang kala kegiatan
intelijen merambah kepada bidang-bidang dan tindakan-tindakan yang dikemudian
hari membuat nama “intel” tidak terlalu harum di masyarakat.
Intelijen-
Kegiatan Mencari Jawaban Terbaik
Tadi di awal
pembicaraan telah dikemukakan bahwa kegiatan intelijen terkait erat dengan
proses pengambilan keputusan, pelaksanaan, serta pengendalian hasilnya.
Keputusan yang baik ditentukan oleh tersedianya informasi yang benar, faktual,
cermat, obyektif, lengkap, terkini, dapat tepat waktu.Dengan kata lain,
intelijen adalah kegiatan mencari jawaban terbaik guna mendapatkan solusi
terbaik. Untuk memperoleh jawaban terbaik itu, maka pengorganisasian
intelijen menuntut segala yang terbaik dalam segaenap aspeknya. Sulit
untuk mendapatkan jawaban terbaik bila organisasi intelijen tidak mampu
melaksanakan fungsi-fungsi dasarnya sekalipun, seperti contoh yang dialami oleh
BAKIN tadi.
Organisasi
intelijen tidak lain hanyalah sekedar sarana untuk menjalankan misinya.
Misi organisasi intelijen, seperti organisasi-organisasi lainnya ditentukan
lingkungan strategisnya, tugas utama dan khusus yang dipikulkan keatas
pundaknya, serta tantangan yang sedang dan bakal dihadapinya. Mengingat
wataknya sebagai organisasi yang mengabdi hanya untuk seorang klien,
badan intelijen harus tajam pada spesialisasinya. Organisasi yang terlampau
luas dan lebar tanggung jawabnya dapat terjebak kedalam perangkap tahu
sedikit tentang banyak hal.
Di bidang intelijen
pertahanan konon banyak hal Indonesia masih perlu berbenah diri. Salah satu
fungsi dari intelijen pertahanan, misalnya saja di bidang survaillance udara
dan maritim, yang belum mampu kita tangani dengan memuaskan. Beberapa
kawasan Tanah Air, seperti Laut Natuna, Selat Malaka, Laut Sulawesi, serta
laut-laut di kawasan timur Indonesia, tetap masih merupakan black areas
untuk intelijen kita. Bukan saja karena kawasan-kawasan tadi belum terliput
secara penuh dan efektif oleh sistem jaringan kadar kita, juga kalaupun sarana
deteksi tersebut tersedia, beberapa faktor baik jenis, kemampuan, dan usia
sudah tidak lagi memenuhi kebutuhan sekarang. Beberapa radar buatan Rusia yang
sudah jompo tidak memiliki suku cadang lagi. Beberapa lagi, seperti radar Plessey
dan Thomson tidak kompatibel satu sama lain, sehingga saling tidak mampu
memberikan peringatan dini yang merupakan inti fungsinya suatu jaringan
radar. Padahal kemampuan peringatan dini dan deteksi dini dari
sistem jaringan radar, baik di atas daratan maupun dibawah permukaan air, akan
sangat menentukan kemampuan unsur-unsur surveillance udara dan maritim
yang juga masih sanngat terbatas dalam jumlah, kekuatan, dan kemampuannya-
dalam rangka membangun pagar pertahanan tanah air yang dapat diandalkan. Jangan
lupa, wilayah nusantara yang harus kita lindungi sekarang ini telah meningkat
tiga kali lipat, dari yang semula hanya dua juta kilometer persegi kini menjadi
enam juta kilometer persegi, sebagai akibat bertambah luasnya wilayah
tanggung-jawab keamanan dengan kawasan zona ekonomi eksklusif.
Intelijen
bukan hanya berurusan bagaimana mengamati partai-partai politik, tetapi juga
bagaimana harus mampu menegakkan hak-hak kedaulatan nasional di lautan dari
pelanggaran lalu-lintas ilegal, penyelundupan dan kejahatan di laut, termasuk
antara lain pencurian kekayaan laut yang kini telah mencapai triliunan rupiah,
maupun ancaman penggerogotan terhadap garis-garis batas nasional. Lautan telah
menjadi frontier baru yang menuntut perhatian, karena berkaitan dengan
bukan hanya hari ini, tetapi masa depan anak-cucu kita.
Sementara
itu negeri ini terbuka telanjang oleh pengamatan pihak-pihak lain melalui geo-stationary
orbiting surveillance satellite yang diperlengkapi baik dengan alat
pendengar elektronika serta thermal dan satelit fotografik,
yang mampu mengamati, menyadap berita, dan memotret sampai detil mulai dari
nomor kendaraan pasukan darat, di nomor lambung kapal-kapal yang ada di
permukaan laut, jumlah dan jenis pesawat yang masih air serviceable,
sampai pada semua pergerakan latihan maupun operasi pasukan-pasukan darat, laut
dan udara, mulai dari Aceh, sampai dengan Papua. Kesibukan badan-badan
intelijen dengan politicking selama ini telah menjadikannya alpa
membangun intelijen pertahanan yang akhirnya akan menentukan kemampuan kita
mempertahankan dan melindungi segenap rakyat Indonesia dan seluruh tanah
tumpah darah Indonesia dengan sebaik-baiknya.
Keterbatasan
kemampuan udara strategis serta telekomunikasi elektronika sangat menghambat
kemampuan intelijen strategis di lapangan. Pekerjaan tersebut selama ini
terbatas dilakukan secara terbuka oleh para petugas di perwakilan-perwakilan di
luar negeri. Tetapi bila saatnya mengharuskan untuk melakukan pengumpulan
keterangan secara senyap di daerah yang bermusuhan, maka kemampuan itu patut
dipertanyakan. Barangkali unsur intelijen strategis masih mampu melaksanakan
misi infiltrasi, tetapi pekerjaan eksfiltrasi terhadap pasukan tersebut setelah
misi berakhir masih merupakan tanda tanya besar. Apresiasi intelijen yang
menyatakan dalam tempo sepuluh tahun ke depan tidak akan ada perang
sungguh telah menina-bobokkan kita. Bahwasanya contoh-contoh tentang pecahnya
perang dadakan seperti di Falkland, Afganistan, Teluk, dan sebagainya,
seharusnya tidak mengizinkan suatu angkatan perang alpa dalam mempersiapkan
dirinya. Bukankah, si vis pacem para bellum. Titik-titik ledak yang
eksplosif berada di tepian Pasifik, seperti semenanjung Korea, kepulauan
Daoyu-tai, selat Taiwan, sengketa di pulau-pulau atol Spratley, dan sebagainya,
bisa saja terjadi peluberan, karena hampir semuanya berbatasan langsung dengan
zona ekonomi eksklusif Indonesia yang menempati posisi silang.
Pertanyaan :
1. Apakah
BIN ada menjalin kerja-sama dengan badan-badan intelijen asing untuk mengatasi
kekurangan sarana surveillance tersebut di atas?2. Dengan badan-badan intelijen asing siapa saja dan dalam bidang apa saja?
Menurut informasi alat informasi pada camera-recorder imigrasi di Bandara Cengkareng dipasok oleh pihak Amerika Serikat, dengan catatan mereka berhak menerima hasil pengamatan lalu-lintas orang di Bandara kita?
Apa bentuk kerja-sama BIN dengan badan-badan intelijen asing tersebut dalam “pemberantasan terorisme” di Indonesia, serta peran dari badan-badan intelijen asing tersebut di Indonesia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar