Intelligence is
knowledge,
demikian secara generik menurut kamus. Jargon militer mengatikan Intelligence is foreknowledge.-kemampuan
“weruh sadurunge winarah”. Meski
intelijen diharapkan weruh saduruhnge
winarah, tatkala garis pertahanan Bar Lev Israel di Gurun Sinai hancur
berkeping-keping pada ofensif Oktober 1973 oleh serbuan yang mendadak dari
Jenderal Sazely dalam Ramadhang, orang hamper-hampir tidak bisa percaya bahwa
badan intelijen Mossad yang
legendaris itu ternyata tidak memiliki Kawruh
akan adanya ofensif di hari raya Youm
Kippur sesuai dengan reputasi yang digembar-gemborkan selama ini.
Cerita
tentang intelijen yang tertangkap basah, yang diperdaya oleh lawannya, yang
bobol, bukan hanya dialami oleh Mossad
dan Aman (badan intelijen pertahanan
Israel) yang konon sakti mandraguna, tetapi dialami juga oleh
badan-badan intelijen kondang dunia betapa pun handal dan canggihnya. Sejarah
keberhasilan yang legendaris dari raid “Tora, Tora, Tora” oleh sayap
udara dari armada Kekaisaran Jepang yang melibas habis kapal-kapal armada
pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbour pada bulan Desember 1941 dan menjadi
pemantik Perang Pasifik, merupakan suatu operasi intelijen yang mempermalukan
Amerika yang sungguh sangat monumental.
Kejadian sedemikian tetap berulang berkali-kali, bahkan
di penghujung abad ke-20 ini ketika badan-badan intelijen sudah makin sophisticated.
Ketika
menjelang Natal pada 24 Desember 1979 sembilan divisi Uni Soviet, yang terdiri
dari divisi berlapis baja ke-5, ke-54, ke-103, ke-104, lalu divisi mobile udara
ke-105, serta divisi infanteri bermotor ke-66, ke-201, ke-357 dan ke-360,
terdiri tidak kurang dari 45.000 orang prajurit melancarkan serbuan
besar-besaran menyeberangi perbatasan Tajikistan menyerbu dan menduduki
Afganistan, tiga badan intelejen Amerika Serikat paling canggih –-CIA, DIA (Defense
Intelligence Agency) dan NIA (National Intelligence Agency)-– yang
diawaki dengan personil yang paling terlatih dan paling berpengalaman,
diperlengkapi dengan sarana penyadap elektronika dan pemantau satelit yang
mampu mengawasi tiap jengkal permukaan bumi pada tiap saat, tiba-tiba saja oleh
keberhasilan pendadakan itu tampak menjadi badan-badan intelijen paling konyol
di dunia. Harap diingat, sembilan divisi bukanlah jumlah kekuatan yang kecil
yang begitu saja dapat lolos dari pengamatan.1)
Contoh lain
lagi. Ofensif Argentina pada tanggal 2 April 1982 terhadap kepulauan Falkland,
atau Malvinas kata orang Argentina, adalah juga ceritera nyata betapa sebuah
lembaga intelijen paling bergengsi seperti MI-6 Inggeris tertangkap basah tidak
mampu mengantisipasi serangan dadakan tersebut sebelumnya. Jadi, badan-badan
intelijen, yang paling canggih, paling berpengalaman, dan paling bergengsi
seperti Mossad, CIA, MI-6, bahkan KGB sekalipun, ternyata bukanlah
lembaga-lembaga dewa yang serba tahu dan serba bisa. Bahwa intelijen sebagai
lembaga harus mampu menjalankan empat fungsi utamanya, yaitu –-to anticipate,
to detect, to identify, and to forewarn-– secara mumpuni,
memang itulah yang diharapkan.
Maka dari
itu, ketika Pemerintah Orde Baru pada waktu yang lalu menginstruksukan untuk
membangun “posko-posko kewaspadaan” guna mengantisipasi terhadap berbagai
kemungkinan adanya dadakan kerusuhan sosial, perintah semacam itu tak pelak
lagi merupakan suatu sindiran gaya Jawa terhadap komunitas intelijen,
terutama dalam menjalankan keempat fungsi utama yang disebutkan di atas tadi.
Kalau tidak, untuk apalah pula “posko-posko kewaspadaan” itu, meski kelemahan
itu tidak terletak sebagai tanggung jawab badan-badan intelijen an sich.
Dalam hal ini aparat pemerintah lainnya perlu diperiksa juga akan peran dan
tanggung jawabnya, terutama berkenaan dengan efektivitas dari intelijen
fungsional. Sehubungan dengan intelijen tersebut, tokoh guru peperangan gerilya
Che Guevara memperingatkan dari dalam belantara Colombia, bahwa “informasi
akan mengalir ke arah ke mana simpati rakyat diberikan.“ Barangkali kaidah
besi ini harus menjadi peringatan bagi badan-badan intelijen kita juga.
Dari
contoh-contoh di atas tadi, kenyataan empirik memperlihatkan
kelemahan-kelemahan alamiah memang akan terus melekat pada badan-badan
intelijen kapanpun dan dimanapun, karena kelemahan yang bersifat manusiawi.
Kelemahan itu dapat bersifat struktural (artinya, bisa diperbaiki), bisa kultural
(sulit diperbaiki). Meski dengan segala kemungkinan akan kelemahan yang ada,
yang dapat membatasi kemampuannya, fungsi intelijen sejak zaman dahulu kala
telah telah diakui menduduki peran yang menentukan. Sun Tzu (250 s.Masehi)
telah menetapkan adagiumnya yang terkenal “Ketahui musuhmu, dengan
mengetahuinya sudah separuh dari kemenangan”.2)